Perilaku, Dampak dan Mencegah Anak Melakukan Perundungan
Perundungan sering terjadi pada masa kanak-kanak. Dampaknya bagi korban pun bisa membekas seumur hidup. Tapi apa yang membuat seorang anak menjadi 'pembully'?
Ketika RubySam Youngz dirisak saat berusia 10 tahun di sekolah dasar, dia merasa terisolasi dan bingung.
Dia dan keluarganya baru saja pindah dari Inggris ke Wales dan para pembully mempermalukan aksennya.
Mereka juga mulai mengejek penampilannya.
Tidak ada yang benar-benar masuk akal baginya. Dia berada di tempat baru, tidak mengenal siapa pun, tidak ada yang menyukainya, dan dia benar-benar tidak tahu kenapa.
Youngz mengatakan bahwa intimidasi tanpa henti, yang berlanjut sampai sekolah menengah, memiliki efek yang mempengaruhi semua aspek kehidupannya. Ia lantas mulai merokok dan minum minuman keras untuk mengatasinya.
Sekarang di usia 46 tahun, ia akhirnya bisa menerima efek intimidasi terhadap dirinya.
Dia merasa seperti 'tidak ada orang lain yang menyukainya, jadi dia tidak menyukai dirinya sendiri'.
Pengalamannya menggarisbawahi fakta yang menyakitkan.
Anak-anak, meski dianggap polos dan 'masih hijau', nyatanya dapat menjadi perisak yang paling kejam.
Tindakan mereka, bisa jadi tanpa ampun, kejam, dan mengejutkan. Hal ini dapat memiliki implikasi seumur hidup bagi para korban.
Tapi apa yang membuat seorang anak menjadi perisak?
Untuk sekian lama, dalam literatur penelitian, para peneliti berpikir hanya ada satu jenis pengganggu: yakni seorang anak yang sangat agresif yang memiliki masalah harga diri yang mungkin berasal dari keluarga yang kejam atau lalai.
Namun, temuan itu telah berubah.
Definisi perundungan yang diadopsi oleh peneliti menyatakan hal itu terjadi karena agresi antara individu atau kelompok yang memiliki tingkat kekuatan berbeda.
Mungkin alasan mengapa seseorang menjadi perisak sangat kompleks.
Tetapi satu elemen kuncinya yaitu perbedaan kekuatan.
Bisa jadi Anda menggertak saya, dan Anda populer, sementara saya tidak populer, maka perbedaan kekuatan itu menyulitkan saya untuk membela diri.
Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga dan kekejaman saudara kandung masih menjadi faktor yang dapat membuat seorang anak menjadi perisak.
Akan tetapi, anak-anak yang tumbuh di rumah yang kejam tetapi mendapatkan program anti-perundungan di sekolah dengan dukungan yang baik, tidak selalu akan menjadi perisak.
Penelitian tentang perundungan menjadi lebih berwarna selama beberapa tahun terakhir.
Selain bentuk penyerangan yang blak-blakan dan terbuka, penindasan 'Machiavellian' juga telah diteliti.
Anak-anak yang termasuk dalam kategori ini cenderung memiliki keterampilan sosial yang lebih baik, seringkali karismatik dan disukai oleh para guru - jauh dari stereotip pengganggu yang "dungu".
Anak-anak ini dapat melakukan intimidasi atau tidak, sesuai dengan kebutuhan mereka.
Perisak yang dominan secara sosial ingin menjadi pemimpin orang banyak. Dan cara mereka melakukan itu adalah mendorong anak-anak lain untuk berada di hierarki sosial terbawah.
Penelitian lain mendukung gagasan bahwa aksi bullying sering kali lebih berhubungan dengan masalah si pelaku intimidasi sendiri, daripada korbannya.
Dalam sebuah penelitian yang melibatkan anak-anak sekolah di Italia dan Spanyol, murid-murid mengambil bagian dalam simulasi yang melibatkan pemikiran tentang situasi intimidasi dari sudut pandang si perisak.
Para peneliti juga memberi anak-anak kuesioner tentang teman sebaya mereka dan meminta merika mengkategorikan setiap anak sebagai perisak, korban atau orang luar.
Mereka yang dikategorikan sebagai pelaku intimidasi oleh rekan-rekan mereka cenderung merespons insiden intimidasi dengan pernyataan yang berfokus pada bagaimana insiden itu mempengaruhi pelaku intimidasi itu sendiri (mengatakan hal-hal seperti "Saya akan merasa hebat karena saya mendapat perhatian dari anak-anak lain!" ) atau pernyataan yang menunjukkan kurangnya empati (seperti "Saya tidak merasa bersalah karena saya tidak memikirkannya" dan "Saya akan merasa acuh tak acuh karena korban tidak menderita").
Perundungan juga tercipta dalam bentuk-bentuk yang baru dalam beberapa tahun terakhir.
Satu karakteristik umum dari intimidasi seperti yang didefinisikan sebelumnya oleh para akademisi adalah bahwa perundungan terhadap korban biasanya berulang.
Tetapi dunia online mengaburkan gagasan itu.
Apakah (perundungan) harus terjadi lebih dari satu kali, ketika Anda telah memposting sesuatu yang bisa dilihat jutaan orang? Mungkin tidak.
Faktanya, ada irisan yang besar antara intimidasi di sekolah dengan perundungan di internet sehingga beberapa peneliti berpendapat bahwa tindakan itu sama saja - terutama sekarang anak-anak sering membawa ponsel mereka di kelas.
Dalam penelitian saya, ditemukan bahwa sering kali perundung di sekolah melanjutkan gangguan mereka secara daring.
Mereka mungkin duduk berdampingan satu sama lain tetapi lebih memilih untuk menggertak melalui media sosial, karena dengan begitu tindakan mereka dapat dilihat lebih banyak dan mereka merasa tenar.
Jadi apa yang harus Anda lakukan jika anak Anda seorang perundung?
Memahami motivasi mereka adalah langkah baik pertama yang bisa diambil.
Jika seseorang memanggil saya dan mengatakan anak Anda terlibat dalam perundungan, saya ingin mengatakan [kepada anak itu],' OK, apa yang kamu dapatkan dari itu? Mengapa kamu melakukannya? ' Mungkin saja anak Anda ... ada di sekolah di mana mereka diharapkan melakukan perundungan.
Juga patut dipertimbangkan apakah tindakan Anda sendiri dapat memengaruhi anak Anda.
Untuk beberapa orang tua, gaya interpersonal mereka mungkin menjadi model perilaku itu.
Salah satu cara untuk mengatasi intimidasi adalah sitem pertemanan yang dirancang untuk mendukung teman sebaya, di mana siswa yang lebih muda dibimbing siswa yang lebih tua.
Fakta bahwa siswa yang lebih muda memiliki kesempatan untuk mencontoh perilaku yang baik dari siswa yang lebih senior adalah salah satu keuntungan dari sistem seperti itu.
Tetapi memiliki lingkungan sekolah yang mendukung juga penting untuk memberantas perundungan.
Dibutuhkan banyak ketekunan, dan konsistensi dari para guru dan staf sekolah secara umum, karena tanpa mereka sistem tidak dapat berfungsi.
Hubungan yang kuat antara anak, guru, dan teman sebaya adalah kunci.
Apa yang kita ketahui dari penelitian adalah sekolah-sekolah yang memperhatikan masalah relasi, memastikan setiap anak merasa diterima di sekolah itu, memiliki lebih sedikit kasus intimidasi.
Namun, seringkali dukungan itu tidak ada di sana.
Terungkap bahwa intimidasi sering melibatkan penghinaan terkait orientasi seksual, yang kemudian meningkat menjadi pelecehan seksual di tahun-tahun berikutnya di sekolah.
Tetapi anak-anak yang terlibat dalam pelecehan seksual - baik pelaku maupun korban - seringkali tidak memahami seberapa serius insiden itu, mungkin karena guru tidak melakukan tindakan apapun.
Intimidasi, julukan 'homofobik', kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam berpacaran di kalangan remaja itu nyata.
Apakah anak-anak akan berhenti menjadi perisak ketika mereka meninggalkan sekolah?
Beberapa mungkin melakukannya - atau menemukan jalan keluar yang berbeda untuk tindakan mereka - tetapi tidak semua.
Beberapa [perisak di sekolah] masuk ke profesi di mana jenis perilaku itu diterima, apakah itu seorang polisi, profesor di universitas, atau pengacara.
Mungkin yang paling menyedihkan dari semua itu adalah dampak intimidasi terhadap korban dapat berlangsung selama beberapa dekade, yang mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis mereka.
Orang yang dirisak akan kehilangan perasaan normal, kepercayaan, juga rasa akan keselamatan dan keamanan
Perundungan adalah benar-benar tentang sang perisak daripada tentang korban. Dia mungkin merisak karena mengalami masalah di keluarganya. Tapi kita semua tidak setuju dengan apa yang dia lakukan.
Bullying dapat merugikan orang lain baik segi fisik maupun mental. Bullying dapat dilakukan siapa saja dan siapa pun dapat menjadi korban bullying.
Bukan hanya orang dewasa, anak-anak juga dapat melakukan bullying kepada orang lain. Orang tua berpengaruh untuk mencegah anak melakukan bullying. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar anak tidak membully orang lain.
1. Kenali penyebab perilaku bullying tersebut
Banyak faktor yang menyebabkan perilaku bullying pada anak misalnya saja karena perasaan insecure. Perasaan insecure tersebut dapat menyebabkan anak melakukan perundungan. Hal ini bisa terjadi karena anak dapat beranggapan bahwa dengan menindas orang lain, maka akan membuat dirinya terlihat lebih hebat atau terlihat berkuasa.
Faktor lain yang dapat menyebabkan anak melakukan perundungan adalah anak ingin mencari perhatian atau karena masalah pengontrolan emosi. Perilaku bullying bisa saja datang dari alasan sederhana misalnya anak tidak tahu kalau perbuatan yang dilakukannya itu merupakan sesuatu yang salah.
2. Pastikan anak tahu konsekuensi yang diterima jika melakukan bullying
Pastikan anak mengetahui alasan mengapa tidak boleh melakukan bullying terhadap orang lain. Selain itu, tetapkan peraturan atau konsekuensi yang akan yang terjadi jika anak melakukan bullying.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah hukuman atau konsekuensi yang diterima bukan lah dalam hukuman fisik melainkan dalam bentuk lain. Misalnya jika anak melakukan cyber bullying melalui media sosial, maka konsekuensi yang diterima adalah gadget akan disita dalam jangka waktu tertentu.
Bukan hanya memberikan hukuman, orangtua juga harus menjelaskan kepada anak mengapa tidak boleh melakukan bullying dan jangan lupa untuk memastikan kalau anak tidak mengulanginya kembali.
3. Ajarkan anak untuk memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh hormat
Ajarkan anak untuk memperlakukan orang lain dengan baik dan penuh hormat. Seringkali perilaku bullying dilakukan kepada orang lain yang dianggap berbeda atau dianggap lemah. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengajarkan anak untuk berempati dan menghormati orang lain. Dengan menerapkan hal tersebut, maka perilaku bullying akan dapat dicegah.
4. Jadi role model yang baik untuk anak
Salah satu hal yang wajib diketahui adalah anak akan belajar dari orang terdekatnya termasuk orang tua. Mengingat orang tua merupakan salah satu orang yang berpengaruh terhadap perilaku anak, penting sekali agar orang tua bisa menjadi role model yang baik.
Jika sebagai orang tua memberikan contoh yang tidak baik misalnya seperti memandang rendah orang lain atau memperlakukan orang lain dengan tidak baik, bukan tidak mungkin anak akan mempelajari hal tersebut melakukannya kepada orang lain.
5. Jangan gunakan hukuman fisik untuk mendidik anak
Hindari penggunaan hukuman fisik kepada anak. Jika orangtua memberikan hukuman fisik atau bertindak agresif kepada anak, bukan tidak mungkin anak akan mencontoh perilaku tersebut dan melakukannya kepada orang lain. Oleh karena itu, bijaklah dalam memilih cara untuk mendisiplinkan anak.
6. Awasi anak dalam penggunaan gadget
Zaman sekarang, bullying dapat dilakukan dalam segala cara salah satunya melalui dunia maya. Penting sekali untuk mengawasi aktivitas anak dalam dunia maya karena bisa saja anak melakukan bullying melalui dunia maya. Dengan begitu, tindakan cyber bullying dapat dicegah sejak dini.
Sedikit sharing dari anak korban perundungan adalah sebagai berikut
”Saat main bola, saya jadi kiper. Tetapi teman-teman mengejek saya. Fauzan, apa bisa jadi kiper?”
Bagaimana perasaannya dibully seperti itu? ”Saya merasa sakit hati karena tidak dihargai,” jawab Fauzan. Oleh karena itu kepada semua pembaca, stop membully, stop mengejek sesama, karena perbuatan ini bisa menyakitkan hati.
Tahukan dampaknya membully? Kalian tidak akan keren kalau kalian membully orang lain. Setuju tidak? Ingat dampaknya, satu kali pukulan/cubitan/bully akan membunuh 10 milyar sel otak.
”Wong kece ora ngece. Orang keren anti bullying. Stop kekerasan sekarang juga. Stop membully. Ayo peduli”
Semoga bermanfaat!
Comments
Post a Comment