Perempuan dan KDRT



Perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Rasanya sampai sekarang kedua hal ini masih sulit terpisahkan. Menyedihkan memang, tapi inilah fakta yang terjadi.

Tahun 2018 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat di ranah privat. Pelaporan kasus marital rape atau perkosaan dalam perkawinan juga mengalami peningkatan.

Jika selama ini banyak yang menganggap bahwa KDRT  hanya identik dengan kekerasan fisik yang menimbulkan luka fisik, hal ini jelas keliru. Pasalnya, kekerasan dalam rumah tangga bisa hadir lewat beragam bentuk.
Mirisnya, banyak perempuan yang tidak menyadari akan hal ini. Padahal, apapun bentuknya, kekerasan dalam rumah tangga akan menyisakan luka yang mendalam.

Untuk bisa terlepas dan bangkit dari keterpurukan, ia pun membutuhkan keberanian dan dukungan dari orang terdekatnya. 

Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi di sekitar kita

Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) No. 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum. Maka tidak heran, meski UU ini sudah berlaku lebih dari tiga tahun, kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari. Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, kepedulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain. UU No. 23 tahun 2004 sendiri mendefinisikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Dalam lingkup rumah tangga ada beberapa pihak yang bisa menjadi pelaku atau korban KDRT yaitu:

  • Suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
  • Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan poin di atas karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, juga yang menetap dalam rumah tangga. Misal, mertua, menantu, ipar, besan, dan,
  • Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), jenis kekerasan yang termasuk KDRT terbagi menjadi beberapa macam : 


1. Kekerasan terbuka (overt)

Kekerasan terbuka atau overt termasuk kekerasan fisik yang dapat dilihat, misalnya perkelahian, pukulan, mendorong, menjambak, bahkan sampai membunuh.

Bentuk-bentuk kekerasan fisik
  1. Cedera berat
  2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
  3. Pingsan
  4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya meninggal
  5. Kehilangan salah satu panca indra.
  6. Mendapat cacat.
  7. Menderita sakit lumpuh.
  8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
  9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
  10. Kematian korban.
Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
  1. Cedera ringan
  2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
  3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

2. Kekerasan psikis (covert)

Kekerasan covert lebih dikenal dengan kekerasan psikis atau emosional. Kekerasan ini sifatnya tersembunyi karena tidak menyisakan luka fisik. 

Namun, penting untuk digaris bawahi bahwa kekerasan fisik ini  bisa diperlihatkan lewat beragam perilaku. Misalnya mengeluarkan kata-kata kasar, ancaman, intimidasi, manipulasi, melontarkan kalimat penghinaan, atau memberikan kritik yang berlebihan. 

Biasanya, seseorang yang mengalami kekerasan psikis akan  mengalami ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, merasa bahwa dirinya tidak berdaya, bahkan bisa berujung dengan hilangnya kemampuan untuk bertindak.

Banyak sekali masyarakat, khususnya perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban kekerasan psikis. 

Bentuk-bentuk kekerasan psikis

  • Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
  1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
  2. Gangguan stres pasca trauma.
  3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
  4. Depresi berat atau destruksi diri
  5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
  6. Bunuh diri
  • Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
  1. Ketakutan dan perasaan terteror
  2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
  3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
  4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
  5. Fobia atau depresi temporer

3. Kekerasan seksual

Salah satu bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks berupa fisik atau pun verbal.

Contoh fisiknya yaitu meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks atau berhubungan intim. Hubungan seksual dalam pernikahan sebenarnya bersifat equal. Harus dilakukan atas dasar keinginan dua belah pihak tanpa adanya paksaan. 

Kekerasan seksual berat, berupa:
  1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
  2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
  3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
  4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
  5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
  6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

Bagaimana kekerasan seksual berupa verbal?

Yaitu saat seseorang membuat komentar, julukan atau gurauan porno yang sifatnya mengejek, juga membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lainnya.

4. Kekerasan penelantaran rumah tangga

Ada dua jenis tindakan yang bisa disebut sebagai penelantaran rumah tangga, yaitu:
Tindakan seseorang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya. Sedangkan menurut hukum yang berlaku dirinya berkewajiban memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Hal ini dapat terjadi antara orang tua dengan anak-anaknya atau yang berada di bawah pengasuhannya, termasuk panti asuhan ataupun day care.

Kekerasan ini juga termasuk kekerasan finansial atau kekerasan yang dilakukan dalam bentuk eksploitasi, memanipulasi, dan mengendalikan korban dengan tujuan finansial. Misalnya memaksa korban bekerja, melarang korban bekerja tapi tidak memenuhi kebutuhannya bahkan cenderung  menelantarkan. Bentuk lainnya bisa dengan cara mengambil harta pasangan tanpa sepengetahuannya.

Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
  1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
  2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
  3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan?

Perempuan hampir selalu menjadi korban kekerasan karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, dimana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan. Menurut Foucault, laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik ‘kuasa’ yang menentukan arah ‘wacana pengetahuan’ masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan secara garis besar (pada umumnya) terjadi melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Dengan demikian, ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, maka perempuan berposisi sebagai pihak yang diatur oleh laki-laki. Bangunan relasi ini bekerja melalui seluruh system social tadi yang kemudian melahirkan identitas jender yang membedakan laki-laki dan perempuan.

Secara sosio-kultural, hubungan laki-laki – perempuan (relasi jender) di Indonesia secara kompleks terbangun melalui beberapa alasan, antara lain:
  1. laki-laki secara fisik lebih kuat dari pada perempuan dan ada kemungkinan tingkat agresivitas yang tinggi memiliki dasar biologis pula. Dalam masyarakat laki-laki juga dibiasakan untuk melatih menggunakan fisiknya sekaligus berkelahi, menggunakan senjata dan menggunakan intimidasi kekuatan sejak masa kanak-kanak.
  2. dalam masyarakat ada tradisi panjang mengenai dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan toleransi penggunaan kekuatan oleh laki-laki. Tradisi tersebut tertampilkan melalui film, pornografi, musik rok, dan media pada umumnya.
  3. realitas ekonomi memaksa perempuan untuk menerima penganiayaan dari orang pada siapa dia bergantung.
  4. pada tingkat individual, factor psikologis berinteraksi dengan hal-hal yang disebutkan di atas, untuk menjelaskan bahwa sebagian laki-laki melakukan kekerasan dan sebagian perempuan menjadi korban kekerasan; sementara sebagian laki-laki lain tidak melakukan kekerasan tersebut dan sebagian perempuan juga tidak menjadi sasaran kekerasan.
  5. pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan kekuatan dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki dalam arti perbedaan yang dipersepsikan sebagai hak dan kemampuan untuk melakukan pengendalian terhadap satu sama lain.
Maka  ketika relasi kuasa tidak seimbang, kekerasan dan ketidakadilan menjadi suatu kemungkinan yang sangat besar muncul. Tetapi dalam kasus tertentu, bisa jadi kenyataan itu terbalik, dan laki-lakilah yang menjadi korban.

Melacak Munculnya Kekerasan Domestik

Secara biologis, jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan mempunyai rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan lain sebagainya. Sifat nature perempuan ini mempunyai hubungan timbal balik dengan alam, karena sifatnya yang produktif dan kreatif. Perempuan merupakan produsen sistem kehidupan yang baru. Adapun, laki-laki identik dengan yang mengeksploitasi alam. Kekuatannya diarahkan untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan subordinasi perempuan. Masyarakat dan budaya mengkonstruksi perbedaan hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya. Berdasarkan struktur biologisnya, laki-laki diuntungkan dan mendominasi perempuan. 

Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh adanya perbedaan biologis atau jenis kelamin. Teori nurture melihat perbedaan tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan. Kelemahan struktur biologis perempuan menempatkannya pada posisi yang marginal dalam masyarakat. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik, lemah, emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain. Relasi sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki. Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut. Dengan perbedaan semacam ini, perempuan selalu tertinggal dalam peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda.

Konstruksi jender dalam masyarakat itu telah terbangun selama berabad-abad membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory) menjelaskan bahwa kita belajar banyak tentang tingkah laku kita dalam konteks interaksi dengan orang lain. Teori ini beranggapan bahwa perilaku hubungan seks misalnya, dapat dipelajari tanpa meneliti ketika proses pembelajaran berlangsung, tetapi melalui observasi terhadap orang lain dan kejadian lain. Misalnya jika kita melihat seseorang dihukum karena melakukan hubungan seks pra nikah, kita harus menghilangkan kesukaan pribadi pada hubungan serupa itu. Untuk masalah penyerangan seksual secara luas, teori ini menggaris bawahi factor-faktor yang betul-betul penting dari pengalaman masa lalu, seperti pengaruh pengasuhan, norma-norma social, kejadian biologis, dan bagaimana pengalaman seksual terakhir membentuk cara berpikir dan cara bertindak secara seksual.

Hasil penelitian tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah memperlihatkan data tentang perempuan yang ayahnya pernah memukul ibu mereka, atau mertuanya talah memukul istrinya, lebih mungkin dianiaya oleh suaminya. Hasil serupa ditemukan dalam banyak studi internasional yang lain di Amerika serikat, Amerika Latin, dan Asia. Pada umumnya, para peneliti percaya bahwa perempuan yang tak terlindungi terhadap kekerasan semasa kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian yang normal, dan karenanya tak pernah memperhatikan tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya. Disisi lain, jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri. Ini disebut sebagai “penularan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence)”. 

Proses inkulturasi dalam rumah tangga yang dilakukan melalui proses pengasuhan anak, menjadi cara belajar peran jender yang paling effektif tentang bagaimana menjadi laki-laki dan bagaimana menjadi perempuan yang diizinkan oleh masyarakat. Luce Irigaray, seorang feminis postmodernisme dari Perancis menandaskan bahwa “demokrasi dimulai dari rumah”. Demokrasi yang menanamkan nilai-nilai hak asasi manusia, kesetaraan dan kebebasan, menurutnya, ditanamkan pada awalnya dari rumah. Oleh sebab itu, ia yakin benar bahwa peranan ibu atau perempuan dalam mendidik anaknya di rumah menjadi sangat menetukan. Terutama pendidikan yang mengajarkan saling mengasihi, pengembangan aspek emosional, kesensitifan, keperdulian dan keterhubungan satu sama lain menjadi penting.

Fenomena Gunung Es

Rumah, dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman dan nyaman untuk ditempati. Rumah adalah tempat bermuaranya seluruh petualangan dan kelelahan. Di rumahlah orang bersikap paling natural, tidak dibuat-buat, tidak harus jaga image, dan sebagainya. Secara umum masyarakat beranggapan, bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah. Maka ketika rumah dituding sebagai tempat berlangsungnya kekerasan, semua orang memberikan respons yang beragam.

Karena KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestic cenderung membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.

Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain:
  1. Bahwa tidakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan kekerasan) terhadap anggota keluarganya.
  2. Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu.  Hal itu dibungkus sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus berulang.
  3. Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan mempunyai hak/wibawa dan kekuasaan di luar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah. 
  4. Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami, sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam rutinitas rumah tangga yang dijalaninya. Pengorbanan ini tidak hanya hidup dalam budaya dan masyarakat, melainkan realitas agama. Dalam hal ini, para perempuan, harus mampu mengatakan “tidak” terhadap moralitas pengorbanan, sehingga kedirian perempuan atau ethic of personhood (etika diri) menjadi muncul dalam menanggapi keinginan dan kebutuhan personal perempuan.
  5. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai akibat stigma tresebut.
  6. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Secara teoritis, para ahli studi perempuan menyebut alasan-alasan di atas dengan istilah Sindrom Tawanan (Hostage Syndrome)  yaitu gambaran bagi perempuan yang terjerat secara fisik maupun psikologis oleh norma budaya dan masyarakat. Keterjeratan ini bisa terjadi dalam keluarga, seperti perempuan harus mengasuh anak dan suami, serta menganggap lumrah perlakuan kasar suaminya. Dalam masyarakat, perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan jodoh, sehingga kondisi psikologis perempuan mengalami sindrom ketergantungan dengan sistem nilai laki-laki. Pada awalnya, konsep sindrom tawanan ini dikembangkan untuk memahami keberhimpitan paradoksal dari tawanan (perempuan) pada penawannya (suami, masyarakat, dan budaya), dan kemudian diterapkan dalam upaya memahami situasi perempuan sebagai korban. Efek tawanan itu kemudian dikembangkan, baik oleh orang yang menawan atau oleh masyarakat pada umumnya. Sebagai tawanan masyarakat, perempuan korban sangat sulit untuk meninggalkan pasangannya, karena lingkungan sosial kemasyarakatan tidak memberikan dukungan yang cukup untuk melakukannya. Variabel dari realitas sosial kemasyarakatan itu antara lain norma perkawinan, peran perempuan dalam perkawinan, pesan yang diterima perempuan sejak masa kecil, tiadanya dukungan dalam keluarga dan masyarakat, tidak adanya sumber daya ekonomis yang memungkinkan bisa hidup mandiri, serta perlindungan hukum yang tidak memadai.

Dengan situasi sosial seperti itu, perempuan korban kemudian beralih ke sumber daya personalnya sendiri. Untuk dapat bertahan, ia merasionalisasi penganiayaan yang dialaminya sebagai respons alami yang ditampilkan pasangannya dalam menghadapi tekanan. Jadi, perempuan korban kemudian mengadopsi norma-norma budaya yang mengabsahkan kekerasan pasangan (laki-laki). Bahkan perempuan, pada akhirnya menginternalisasi pandangan bahwa perempuan bertanggungjawab untuk memastikan keberhasilan perkawinan. Dalam kondisi atau keadaan keterjeratannya, perempuan akan dengan mudah menginternalisasi, menghayati banyak perasaan negatif, seperti rasa malu, bimbang, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Kondisi keterjebakan seperti ini dan ketidakmampuan mencari jalan alternatif pemecahan, menyebabkan perempuan sulit keluar dari kekerasan yang ada.

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga tentu saja bisa menimbulkan beragam efek negatif, baik jangka panjang ataupun jangka pendek. 

Bagi korban, tentu saja bisa berisiko mengalami sindrom stress pasca trauma (PTSD), kecemasan, harga diri yang rendah, luka fisik, hingga berujung pada kematian. Sedangkan, jika ada anak-anak yang menjadi korban atau terpapar tindak KDRT tentu akan bisa lebih berisiko dan bisa menetap.

Beberapa anak akan menarik diri dan mengalami kesulitan berkomunikasi, namun tidak sedikit yang akhirnya menjadi lebih agresif atau menyalahkan diri mereka atas tindakan kekerasan tersebut.

Oleh karena itu, pantaskah kekerasan dalam rumah tangga didiamkan saja? Bukankah pernikahan seharusnya membuat diri Anda merasa aman, bahagia, membuat kenangan indah bersama. Bukan sebaliknya,  terus-menerus kesal, terluka, bahkan menangis.

Percayalah, dengan berani melaporkan atau mencari perlindungan sebenarnya merupakan bentuk perwujudan cinta pada diri sendiri, keluarga, bahkan terhadap pelaku KDRT.

Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

Comments

Popular posts from this blog

Membuat Jalan Setapak

Jenis-jenis Benang Rajut dan Kegunaanya

Permainan Dam Daman