Autisme: Keunikan atau Kelainan
Semua orangtua tentulah mengharapkan agar anak-anak bertumbuh besar "normal", dalam pengertian serupa dengan anak-anak lain. Masalahnya adalah tidak semua anak bertumbuh besar serupa dengan anak-anak pada umumnya. Dalam hal ini, jika anak ternyata anak yang autis, bagaimana orangtua menghadapi hal ini? Dalam kadar yang lebih rendah, sesungguhnya keunikan ini masih dan seharusnya ditangani oleh orangtua sendiri.
Pada tahun 2003, Majalah Newsweek memuat sebuah artikel yang menarik tentang pemikiran seorang psikolog dari Universitas Cambridge di Inggris, bernama Simon Baron-Cohen. Ia menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul, The Essential Difference. Pada dasarnya pemikiran Baron-Cohen berkaitan dengan gangguan autisme yang tampaknya makin banyak dialami oleh anak dewasa ini. Sudah tentu Ia mengakui keberadaan gangguan ini namun ingin mengajak orangtua untuk memandang masalah autisme dari kerangka pandang keunikan bukan kelainan anak. Baron-Cohen mendefinisikan autisme sebagai ketidakseimbangan antara dua jenis kecerdasan:
- pertama adalah kecerdasan yang digunakan untuk memahami orang (people) yang disebutnya, emphatizing, atau mengempati, dan
- kedua, kecerdasan yang digunakan untuk memahami benda (things), yang disebutnya systematizing atau mensistematikkan
Beberapa kasus anak yang mengidap autisme, misalkan, ada seorang anak berusia 19 tahun di India yang dapat menyebutkan 14 stasion kereta secara berurut dan mengingat nada lagu dengan begitu cepatnya namun sulit mengungkapkan isi hatinya secara verbal. Pada umumnya anak-anak ini memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengumpulkan fakta, kemudian mengkategorikannya. Namun untuk memulai dan memutar roda percakapan, mereka tidak bisa. Satu hal lagi adalah mereka memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap bunyi dan cahaya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah yang dapat atau seharusnya dilakukan oleh orangtua?
- Pertama dan terpenting adalah orangtua harus menerima dan mengerti keunikan anak. Mesti menjaga sikap agar tidak menuntutnya untuk melakukan hal-hal yang memang tidak bisa atau teramat sulit dilakukannya. Harus menyadari bahwa sukar baginya untuk menjalin persahabatan; itu sebabnya ia cenderung menyendiri. Mesti menolongnya untuk bersosialisasi namun tidak boleh menyalahkannya kalau Ia sulit untuk memulai pertemanan atau berinisiatif untuk berbuat sesuatu yang baik kepada orang lain.
- Kedua, orangtua dapat melatihnya untuk meningkatkan kemampuannya berempati. Misalkan, orangtua dapat mengajaknya membaca buku bergambar dan menjelaskan emosi yang terkandung di balik wajah atau ungkapan yang terkandung di dalam gerakan atau bahasa tubuh. Sewaktu ia murung atau jengkel, ajaklah dia untuk menyatakan perasaannya. Dan, orangtua pun mesti mencontohkanya dengan cara memberitahukan kepadanya perasaan yang tengah orangtua rasakan.
- Ketiga, orangtua harus meneguhkan keunikannya sebagai sesuatu yang baik. Berilah pujian sewaktu ia dapat dengan cepat menyelesaikan hitungannya dan katakanlah bahwa kemampuan itu dapat digunakannya untuk bekerja sebagai seorang ahli teknik atau akutansi. Singkat kata, berilah ia pandangan ke muka untuk melihat apa yang dapat dikerjakannya dengan apa yang dimilikinya. Bukan saja hal ini akan membuatnya melihat dirinya secara positif, ia pun akan mengembangkan kepercayaan diri yang lebih kokoh.
Comments
Post a Comment